Selasa, 21 Februari 2012

PEMIKIRAN FEMINISME AMINA WADUD (TAFSIR FEMINIS ATAS AL-QUR’AN)

A. PENDAHULUAN
Memasuki abad dua puluh dunia ramai dengan perubahan dan perkembangan di segala bidang, termasuk kemajuan ilmu-ilmu sosial. Dan ditengah kemajuan itu, pendekatan gender terhadap dehumanisasi sosial mulai dilakukan, yaitu seiring dengan maraknya isu kesetaraan dan kemitrajajaran antara perempuan dan laki-laki. Pendekatan gender tersebut, melahirkan kesadaran sosial bahwa selama ini di realitas sosial telah terjadi diskrimasi dan penindasan terhadap perempuan, serta pendustaaan nilai-nilai kemanusiaan. Di antara hal baru yang dilakukan adalah melakukan analisis atas beberapa atribut sosial dan keagamaan yang selama ini menjadi justifikasi ketidakadilan sosial.
Selanjutnya dalam konteks keagamaan mulai marak isu pentingnya reinterpretasi ayat-ayat gender, dalam rangka menemukan aribut-atribut sosial yang selama ini masuk dalam penafsiran al-Qur'an serta menelaah kembali semangat keadilan dan kemanusiaan yang dibawa oleh Islam. Kemajuan ini, di satu sisi memberikan perubahan terhadap paradigma berpikir, telah menyita perhatian intelektual muslim-feminis untuk melakukan pengembangan metodologis guna melahirkan penafsiran yang berperspektif gender dan berkeadilan sosial. Yang diantaranya dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin.

Al-Qur’an mempunyai posisi penting dalam studi-studi keislaman, di samping berfungsi sebagai petunjuk, Al-Qur’an juga berfungsi sebagai furqan, yaitu menjadi tolak ukur dan pembeda antara yang haq dan yang bathil. Menafsirkan Al-Qur’an berarti berusaha menerangkan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya. Oleh karena pentingnya posisi Al-Qur’an tersebut, maka penafsiran terhadap Al-Qur’an bukan hanya merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu, merupakan suatu keharusan bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan itu.
Kecenderungan hermeneutika dalam model penafsiran feminis telah memunculkan hasil penafsiran yang berbeda secara diametral dengan penafsiran klasik. Makalah ini mengkaji pemikiran dan kecenderungan Amina Wadud Muhsin dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Ia adalah feminis yang berupaya menafsirkan ulang berbagai ayat Al-Qur’an yang selama ini cenderung ditafsirkan secara patriarkhis oleh para mufasir klasik.

B. SEKILAS TENTANG AMINA WADUD
1. Biografi Amina Wadud
Amina Wadud lahir pada tanggal 25 September 1952 dengan nama Maria Teasley di kota Bethesda, Maryland. Ayahnya adalah seorang Methodist menteri dan ibunya keturunan dari budak Muslim Arab, Berber dan Afrika. Pada tahun 1972 ia mengucapkan syahadat dan menerima Islam dan pada tahun 1974 namanya resmi diubah menjadi Amina Wadud dipilih untuk mencerminkan afiliasi agamanya. Ia menerima gelar BS, dari The University of Pensylvania, antara tahun 1970 dan 1975. Dia menerima MA di Studi Timur Dekat dan gelar Ph.D dalam bahasa Arab dan Studi Islam dari University of Michigan pada tahun 1988. Selama kuliah, ia belajar Arab di Mesir di Universitas Amerika di Kairo, dilanjutkan dengan studi Al-Quran dan tafsir di Universitas Kairo, Mesir dan mengambil kursus di Filsafat di Universitas Al-Azhar .
Amina Wadud adalah seorang feminis Islam, imam dan seorang feminis dengan fokus progresif pada tafsir Al-Qur'an. Dia dikontrak untuk jangka waktu 3 tahun sebagai Asisten Profesor di International Islamic University Malaysia di bidang Studi Al-Qur'an di Malaysia, antara tahun 1989-1992, dan di mana ia menerbitkan disertasinya Al-Qur'an dan Perempuan: membaca ulang Teks Suci dari Woman's Perspektif, sebuah buku yang dilarang di UAE. Namun, buku tersebut terus digunakan oleh Sisters Islam di Malaysia sebagai teks dasar bagi aktivis dan akademisi. Pada periode yang sama ia juga bersama-sama mendirikan LSM Sisters -In-Islam. Spesialisasi penelitian Amina Wadud ini termasuk studi gender dan Al-Qur’an. Pada tahun 1992 Amina Wadud menerima posisi sebagai Profesor Agama dan Filsafat di Virginia Commonwealth University, dan ia pensiun pada 2008. Mulai tahun 2008-sekarang, ia adalah seorang profesor tamu di Pusat Agama dan Cross Cultural Studies di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Indonesia.
Pada bulan Februari 2009, ia menjadi pembicara di Musawah Kesetaraan dan Keadilan dalam konferensi keluarga, di mana ia mempresentasikan makalah yang berjudul “Islam Beyond Patriarchy Through Gender Inclusive Qur’anic Analysis”. Amina Wadud juga menjadi pembicara pada konferensi regional tentang memajukan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam masyarakat Islam, yang diselenggarakan oleh United Nations Development Fund for Women (UNIFEM) dan pusat internasioanl untuk Islam dan Pluralisme (ICIP) di Jakarta, Indonesia, Maret 2009.
Dalam tipologi Arab kontemporer Amina Wadud tergolong dalam kelompok reformistik dengan metode dekontruksi dan rekontruksi. Dia sangat menentang terhadap golongan fundamentalis.

2. Buku Qur’an and Woman: Rereading The Sacred Text From a Woman’s Perspective
Menurut Charles Kurzman, riset Amina Wadud mengenai wanita dalam Al-Qur’an muncul dalam suatu konteks historis yang erat kaitannya dengan wanita Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. Hal ini karena selama ini sistem relasi laki-laki dan wanita di masyarakat memang sering mencerminkan bias-bias patriarkhi, dan sebagai implikasinya maka perempuan kurang mendapat keadilan secara lebih proporsional. Amina Wadud mengakui bahwa bukunya merupakan bagian dari apa yang disebut “Jihad Gender” dirinya sebagai seorang muslimah dalam konteks global. Menurutnya, budaya patriarki telah memarginalkan kaum wanita, menafikan wanita sebagai khalifah fil ardh, serta menyangkal ajaran keadilan yang diusung oleh al-Qur`an.
Riset dalam topik buku Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective ini dimulai pada awal 1986. Tujuan riset Amina Wadud adalah menentukan kriteria yang pasti untuk mengevaluasi sejauh mana posisi wanita dalam kultur muslim telah betul-betul menggambarkan maksud Islam mengenai wanita dalam masyarakat. Al-Qur’an dapat digunakan sebagai kriteria untuk menguji apakah status wanita dalam masyarakat muslim yang sesungguhnya sudah dikatakan Islami. Jika yang menjadi tolak ukur pasti dalam Islam adalah apa yang dilakukan oleh kaum muslim, maka niscaya wanita dan laki-laki tidak sederajat. Menurut Amina Wadud, hanya jika Al-Qur’an sendiri memang tegas-tegas menyatakan bahwa laki-laki dan wanita tidak sederajat, maka barulah harus dipatuhi sebagai dasar keimanan Islam. Ternyata menurut Amina Wadud, hasil kajiannya menunjukkan banyak sekali ayat Al-Qur’an yang mempertegas kesamaan derajat wanita dan laki-laki. Di dalam buku ini, Amina Wadud bermaksud menggunakan tafsir tauhid untuk menegaskan betapa kesatuan Al-Qur’an merambah seluruh bagiannya. Salah satu tujuan dari metode tafsir tauhid adalah untuk menjelaskan dinamika antara hal-hal yang universal dan partikular menurut Al-Qur’an.
Selain itu, tujuan riset ini adalah untuk menjadikan penafsiran Al-Qur’an bermakna bagi kehidupan wanita di era modern. Kemudian Amina Wadud menambahkan bahwa tujuan spesifiknya adalah menunjukkan kemampuan penyesuaian pandangan dunia Al-Qur’an terhadap persoalan dan dunia wanita menurut konteks modern.
Buku ini bukan buku yang membahas topik umum tentang “Islam dan Wanita”, juga bukan tentang wanita muslim. Buku ini menambahkan bahasan tentang gender pada salah satu disiplin ilmu yang paling fundamental dalam pemikiran Islam yaitu tafsir.
Buku ini mempunyai sejarah internasional yang luas: Setelah Amina Wadud merampungkan riset dan disertasi Ph.D.nya di Amerika Serikat (1989), buku ini diterbitkan pertama kali di Malaysia (1992). Sejak itu, buku ini diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa di antaranya Turki (1997), dan ada tawaran yang tidak tuntas untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab (1996). Setelah mengunjungi Afrika Selatan (1994), buku ini meraih peringkat nomor satu dalam daftar buku best seller di al-Qalam, sebuah koran muslim. Metodologinya disejajarkan dengan yang digunakan oleh aktifis dan cendekiawan muslimah di Republik Islam Iran. Di beberapa universitas Barat, buku ini secara luas digunakan untuk mata kuliah yang berhubungan dengan ‘gender dan Islam’ serta ‘Islam dan modernis’. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1992.
Dalam buku ini, Amina Wadud mengungkapkan bahwa ia menerima Al-Qur’an seutuhnya, tetapi tetap menganggap tafsirnya hanya sebagai upaya manusia untuk menjelaskan makna kandungannya dan mengarahkan pengalamannya. Fokus buku ini hanya pada soal gender dalam Al-Qur’an. Ini adalah konsep tentang wanita yang langsung diambil dari Al-Quran.


3. Metodologi Amina Wadud dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Karya Amina Wadud sesungguhnya merupakan kegelisahan intelektual penulisnya mengenai ketidakadilan gender dalam masyarakatnya. Menurut Amina Wadud, salah satu penyebab terjadinya ketidakadilan gender dalam kehidupan sosial adalah karena ideologi-doktrin penafsiran Al-Qur’an yang dianggapnya bias patriarkhi.
Menurut Amina Wadud, sebenarnya selama ini tidak ada suatu metode penafsiran yang benar-benar objektif, karena setiap pemahaman atau penafsiran terhadap suatu teks, termasuk kitab suci al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh perspektif mufassirnya, cultural background, yang melatarbelakanginya. Itulah yang oleh Amina Wadud disebut dengan prior texts/ pra teks.
Menurut Amina Wadud, untuk memperoleh penafsiran yang relatif objektif, seorang penafsir harus kembali pada prinsip-prinsip dasar dalam al-Quran sebagai kerangka paradigmanya. Itulah mengapa Amina mensyaratkan perlunya seorang mufassir memahami weltanchauung atau world view .
Menurut Amina Wadud, penafsiran-penafsiran mengenai perempuan selama ini ada tiga kategori yaitu: 1) tradisional 2) reaktif dan 3) holistik. Yang pertama adalah tafsir tradisional. Menurut Amina Wadud model tafsir ini menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya, seperti hukum (fiqh), nahwu, shorof sejarah, tasawuf. Model tafsir semacam ini lebih bersifat atomistik,yaitu penafsiran dilakukan ayat per-ayat dan tidak tematik, sehingga pembahasannya terkesan parsial. Namun, ketiadaan penerapan hermeneutika atau metodologi yang menghubungkan antara ide, struktur sintaksis atau tema yang serupa membuat pembacanya gagal menangkap weltanchauung al-Qur’an.
Tafsir model tradisional ini terkesan eksklusif; ditulis hanya oleh kaum laki-laki. Tidaklah mengherankan kalau hanya kesadaran dan pengalaman kaum pria yang diakomodasikan di dalamnya. Padahal mestinya pengalaman, visi dan perspektif kaum perempuan juga harus masuk di dalamnya, sehingga tidak terjadi bias patriarkhi yang bisa memicu dan memacu kepada ketidakadilan gender dalam kehidupan keluarga atau masyarakat.
Kategori yang kedua adalah tafsir reaktif, yaitu tafsir yang berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Quran. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, tapi tanpa dibarengi analisis yang komprehensif terhadap ayat-ayat yang bersangkutan. Dengan demikian, meskipun semangat yang dibawanya adalah pembebasan (liberation), namun namun tidak terlihat hubungannya dengan sumber idiologi dan teologi Islam.
Kategori ketiga adalah tafsir holistik, yaitu tafsir yang menggunakan metode penafsiran yang komprehnsif dan mengkaitkannya dengan berbagai persoalan sosial, moral ekonomi, politik, termasuk isu-isu perempuan yang muncul di era modernitas. Di sinilah posisi Amina Wadud dalam upaya menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Model semacam ini menurut hemat penulis mirip dengan apa yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman dan al-Farmawi.
Dalam riset ini, Amina Wadud menggunakan pendekatan berikut:
a. Feministik, yaitu pendekatan yang didasarkan pada pandangan hidup perempuan
b. Sosio-historis-kultural, Pendekatan ini ada kaitannya dengan pengalaman dan pergumulan para wanita Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. Jadi, ketika hendak menafsirkan Al-Qur’an maka mufassir harus memperhatikan situasi sosio-historis-kultural.

Metodologi penafsiran Amina Wadud mencakup:
a. Dekontruktif-rekontruktif
Amina Wadud mendekontruksi dan merekonstruksi model penfsiran klasik yang penuh bias patriarkhi. Asumsi dasarnya adalah bahwa Al-Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil mendudukan laki-laki dan perempuan setara (equa)
b. Argumentatif-teologis
c. Hermeneutik-filosofis
Ciri utamanya: pengakuan bahwa dalam kegiatan penafsiran, seorang mufassir selalu didahului oleh persepsinya terhadap teks yang disebut sebagai prapaham yang muncul karena seorang penafsir senantiasa dikondisikan oleh situasi di mana ia terlibat dan sekaligus mempengaruhi kesadarannya.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dalam riset ini, Amina Wadud menggunakan metode tafsir tauhid. Metode tafsir tauhid sebagai hermeneutika ini senantiasa memperhatikan tiga aspek nas berikut; 1). Konteks saat nas ditulis ( Al-Qur’n diturunkan); 2). Komposisi nas dari segi gramatikanya (bagaimana nas menyatakan apa yang dinyatakannya); 3) nas secara keseluruhan, Weltanschauuung atau pandangan dunianya. Perpaduan ketiga aspek ini akan meminimalisir subjektifitas dan mendekatkan hasil pembacaan kepada maksud teks yang sebenarnya.
Menurut Amina Wadud, dalam risetnya ini, setiap ayat dianalisis: 1) menurut konteksnya; 2) menurut konteks pembahasan tentang topik yang sama dalam Al-Qur’an; 3) dari sudut bahasa dan struktur sintaksis yang sama yang digunakan di tempat lain dalam Al-Qur’an; 4) dari sudut prinsip Al-Qur’an yang menolaknya; 5) menurut konteks Weltanschauuung Al-Qur’an, atau pandangan dunianya.

C. PEMIKIRAN FEMINISME AMINA WADUD
1. Penciptaan Manusia Menurut Al-Qur’an dan Kesetaraan Laki-laki dan Wanita
Meskipun terdapat perbedaan antara perlakuan terhadap pria dan perlakuan terhadap wanita ketika al-Qur`an membahas penciptaan manusia, Amina berpendapat tidak ada perbedaan nilai esensial yang disandang oleh pria dan wanita. Oleh sebab itu tidak ada indikasi bahwa wanita memiliki lebih sedikit atau lebih banyak keterbatasan dibanding pria.
Semua catatan al-Qur`an mengenai penciptaan manusia dimulai dengan asal-usul ibu-bapak pertama:
   •      • ……
Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surge… (QS. Al-A’raaf: 27).

Amina menjelaskan bahwa kita menganggap ibu-bapak kita yang pertama serupa dengan kita. Meskipun anggapan ini benar, tetapi tujuan utama bab ini lebih menekankan pada satu hal: proses penciptaan mereka. Semua manusia setelah penciptaan kedua makhluk ini, diciptakan di dalam rahim ibunya. Berbagai implikasi yang serius telah diambil dari pembahasan dan ide-ide tentang penciptaan orang tua pertama yang berdampak abadi pada sikap terhadap laki-laki dan wanita.
Selanjutnya Amina Wadud membahas QS. An-Nisa’ ayat 1:
 ••                 •       •     
Dan juga dalam QS. Ar-Ruum ayat 21, yaitu:
            ••   •      

Dalam menjelaskan firman Allah tersebut, Amina Wadud menekankan penjelasannya tentang pengertian dan maksud dari kata min, nafs dan zawj. Menurutnya, kata min, memiliki dua fungsi. Yang pertama, digunakan sebagai preposisi `dari`, untuk menunjukkan makna menyarikan sesuatu dari sesuatu lainnya. Adapun yang kedua, digunakan untuk mengatakan `sama macam atau jenisnya`. Setiap penggunaan kata min dalam ayat tadi telah ditafsirkan dalam salah satu atau kedua makna tadi, sehingga hasilnyapun berbeda.
Adapun maksud dari kata nafs, bisa digunakan secara umum dan teknis. Al-Qur`an tidak pernah menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan ciptaan lain selain manusia. Di dalam penggunaan secara teknis, kata nafs dalam al-Qur`an menunjukkan bahwa seluruh umat manusia memiliki asal usul yang sama. Meskipun secara tata bahasa kata nafs merupakan kata feminin (muannas), namun secara konseptual nafs mengandung makna netral, bukan untuk laki-laki, bukan pula untuk perempuan.
Dalam catatan al-Qur`an mengenai penciptaan, Allah tidak pernah merencanakan untuk memulai penciptaan manusia dalam bentuk seorang laki-laki, dan tidak pernah pula merujuk bahwa asal usul umat manusia adalah adam. Al-Qur`an bahkan tidak pernah menyatakan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs Adam, seorang pria. Hal yang sering diabaikan ini sangat penting karena penciptaan manusia versi al-Qur`an tidak dinyatakan dalam istilah jenis kelamin.
Demikian pula kata zawj. Sebagai istilah umum, kata zawj digunakan dalam Al-Qur’an untuk arti teman, pasangan yang biasanya kita pahami sebagai Hawa. Padahal secara gramatikal zawj adalah maskulin, secara konseptual kebahasaan bersifat netral, tidak menunjukkan bentuk muannats (feminin) atau mudzakkar (maskulin). Baik Adam maupun Hawa diciptakan dari nafs yang sama. Yang penting bagi Amina Wadud bukan bagaimana Hawa diciptakan, tapi kenyataan bahwa Hawa adalah pasangan Adam. Pasangan menurut Amina Wadud, dibuat dari dua bentuk yang saling melengkapi dari satu realitas tunggal, dengan sejumlah sifat, karakteristik dan fungsi, tetapi kedua bagian yang selaras ini saling melengkapi sesuai kebutuhan satu keseluruhan. Setiap anggota pasangan mensyaratkan adanya anggota pasangan lainnya. Dengan pengertian demikian, penciptaan Hawa bagi Amina Wadud merupakan bagian dari rencana penciptaan Adam. Dengan demikian keduanya sama pentingnya.
Selanjutnya, Amina Wadud juga menepis mitos yang sudah terlanjur mengakar di benak masyarakat, yaitu bahwa wanita (Hawa) merupakan penyebab keterlemparan manusia dari surga. Anggapan ini jelas tidak sejalan dengan Al-Qur’an, sebab peringatan Allah agar menjauhkan diri dari bujukan syetan ditujukan kepada keduanya.



2. Pandangan Al-Qur’an Tentang Wanita di Dunia
Amina Wadud berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak mendukung suatu peran tertentu dan stereotip untuk laki-laki dan wanita. Patut dicatat bahwa semua referensi tentang para tokoh wanita dalam Al-Qur’an menggunakan suatu keistimewaan budaya yang penting yang memperlihatkan penghormatan terhadap wanita itu. Kecuali Maryam, ibunda Isa, mereka tidak pernah dipanggil dengan namanya. Sebagian besar berstatus istri dan Al-Qur’an menyebut mereka dalam bentuk idhafah yang mengandung salah satu kata Arab untuk istri: imra’ah, nisa’ atau zawj. Bahkan wanita lajang disebutkan dengan dihubungkan dengan laki-laki tertentu: ukht Musa, ukht Harun. Prinsip umumnya, bahwa wanita harus disapa secara terhormat.
Al-Zamakhsyari menyatakan bahwa laki-laki lebih diutamakan oleh Allah dalam hal kecerdasan, kondisi fisiknya, ketetapan hati dan kekuatan fisik, walaupun ia mengatakan hal tersebut tidak dinyatakan di dalam Al-Qur’an. Penafsiran ini membenarkan berbagai pembatasan atas hak-hak wanita untuk mencapai kebahagiaan pribadi dalam konteks Islam. Yang paling menyusahkan adalah kecenderungan untuk mengaitkan penafsiran ini dengan Al-Qur’an sendiri daripada mengaitkannya pada mufassirnya.
Allah tidak membedakan manusia berdasarkan kekayaan, kebangsaan, jenis kelamin atau konteks sejarah, melainkan berdasarkan takwa.
 ••           •      •    
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13).

Menurut Amina Wadud, Al-Qur’an tidak pernah menggunakan istilah yang menyatakan bahwa posisi pemimpin tidak tepat untuk wanita. Justru sebaliknya, kisah Bilqis dalam Al-Qur’an memuji perilaku politik dan agamanya. Di luar identifikasinya sebagai wanita, tidak pernah ada disebutkan perbedaan, pelarangan, penambahan, atau pengkhususan terhadapnya sebagai wanita yang memimpin. Seorang wanita yang lebih independen dan berwawasan luas mungkin akan lebih baik dalam memimpin suatu bangsa. Demikian juga, seorang suami mungkin saja lebih sabar terhadap anak-anak.

3. Balasan yang Adil: Akhirat Menurut Al-Qur’an
Laki-laki dan wanita adalah dua kategori spesies manusia yang dianggap sama atau sederajat dan dianugerahi potensi yang sama atau setara. Tak satupun hal tersebut terlupakan dalam al-Qur`an sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia yang mengakui dan mempercayai kebenaran yang pasti. Al-Qur`an menghimbau semua orang beriman, laki-laki dan perempuan untuk membarengi keimanan mereka dengan tindakan, yang dengan begitu mereka akan diganjar dengan pahala yang besar. Jadi, Al-Qur`an tidak membedakan pahala yang dijanjikannya.
Dalam menjelaskan QS, 40:39-40, (wa man ‘amila shalihan min dzakarin aw untsa wa huwa mukmin fa ulaika yadkhuluna al-jannah), Amina menekankan kata man dan ulaika. Kedua kata tersebut mengandung pengertian netral, tidak laki-laki dan tidak pula khusus perempuan. Sehingga masing-masing manusia akan memperoleh ganjaran bukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan atas tindakan yang dilakukan oleh setiap individu (lihat juga QS, 6:94).
Berkenaan dengan akhirat, tanggung jawab dan pengalaman individu ini mendapatkan perhatian lebih besar. Kematian, yakni perpindahan dari alam duniawi ke alam akhirat, akan dialami oleh setiap individu: “Tiap-tiap nafs akan merasakan mati” (Q.S. Ali: Imran: 185). Jadi, individu (nafs) lah yang dikelompokkan dengan individu-individu lain dari tipe yang sama. Akhirnya, balasan yang diberikan adalah berbasis pada individu. Laki-laki maupun perempuan diganjar secara individual sesuai dengan amalnya, meskipun timbangan untuk mengukurnya hanya ada satu (tidak bergender).
Mengenai balasan, terdapat beberapa point utama yang disebutkan al-Qur’an yaitu balasan diperoleh bukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasarkan amal yang dikerjakan oleh tiap-tiap individu sebelum mati. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Jaatsiyah [45]: 21-22. Tidak ada seorang pun yang dapat mengurangi atau menambah pahala yang didapat dari orang lain. Tidak seorang pun dapat berbagi pahala atau berbagi hukuman dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 48.

4. Hak dan Peran Wanita
a. Perbedaan Fungsional di Dunia
Al-Qur’an mengakui bahwa kita berjalan dengan berbagai sistem sosial yang memiliki beberapa perbedaan fungsional. Hubungan yang ditunjukkan Al-Qur’an antara perbedaan-perbedaan yang bersifat duniawi ini dengan takwa adalah penting dalam bahasan Amina Wadud. Menurutnya, karena perbedaan utama wanita adalah kemampuannya melahirkan anak, maka kemampuan ini dianggap sebagai fungsinya yang utama. Penggunaan kata utama mempunyai konotasi negatif sehingga dari kata ini, tersirat anggapan bahwa wanita hanya bisa menjadi ibu.
Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa fungsi tersebut adalah fungsi utama wanita. Fungsi itu menjadi utama bila dilihat dari kesinambungan ras manusia.


b. Darajat dan Fadhala
Amina mengutip sebuah ayat yang membedakan derajat antara pria dan wanita, yang artinya:”Wanita-wanita yang ditalak, hendaknya menahan diri (menunggu) tika kali quru`. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya. Dan suami-suaminya berhak rujuk padanya dalam masa iddah tersebut, jika mereka (para suami tersebut) menghendaki ishlah. Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, memiliki satu tingkat (derajat) kelebihan daripada istrinya. Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (QS, 2: 228).
Ayat ini menunjukkan bahwa derajat yang dimaksud di atas adalah hak menyatakan cerai kepada istri. Sebenarnya wanita bisa saja minta cerai, tetapi hal ini dikabulkan setelah adanya campur tangan pihak yang berwenang (misalnya hakim).
Amina berpendapat, bahwa beranggapan bahwa makna derajat dalam ayat ini sama dengan kebolehan kesewenang-wenangan laki-laki terhadap wanita, akan bertentangan dengan nilai kesamaan (keadilan) yang diperkenalkan dalam al-Qur`an sendiri untuk setiap individu, bahwa setiap nafs akan memperoleh ganjaran sesuai dengan apa yang dia upayakan. Adapun, kata ma’ruf diletakkan mendahului kata darajah untuk menujukkan bahwa hal tersebut dilakukan terlebih dahulu. Dengan demikian, hak dan tanggung jawab wanita dan pria adalah sama.
Selanjutnya, Amina juga concern dalam menafsirkan kata Qawwam dan fadhdhala yang terdapat dalam QS, 4:34. Menurutnya, dua kata tersebut erat kaitannya dengan kata penghubung bi. Di dalam sebuah kalimat, maknanya adalah karakteristik atau isi sebelum kata bi adalah ditentukan berdasarkan apa-apa yang diuraikan setelah kata bi. Dalam ayat tersebut, pria-pria qawwamuuna ‘ala (pemimpin-pemimpin bagi) wanita-wanita hanya jika disertai dua keadaan yang diuraikan berikutnya. Keadaan pertama adalah mempunyai atau sanggup membuktikan kelebihannya, sedang persyaratan kedua adalah jika mereka mendukung kaum wanita dengan menggunakan harta mereka. Jika kedua kondisi ini tidak dipenuhi, maka pria bukanlah pemimpin bagi wanita.
Dalam tulisan lain, Amina menjelaskan bahwa kata bi di atas berkaitan dengan ma fadhdhlallah (apa yang telah Allah lebihkan untuk laki-laki, yakni warisan), dan nafkah yang dia berikan kepada istrinya. Meski menurutnya, kelebihan warisan antara laki-laki dan perempuan masih debatable. Dimana bagian warisan absolute pria tidak selalu berbanding dua dengan wanita. Jumlah sesungguhnya sangat tergantung pada kekayaan milik keluarga yang akan diwariskan.
Lebih jauh, Amina menjelaskan bahwa nafkah sebagai seorang pemimpin hendaknya diterapkan dalam kaitannya hubungan kedua belah pihak dalam masyarakat secara keseluruhan. Salah satu pertimbangannya adalah tanggung jawab dan hak wanita untuk melahirkan anak. Tanggung jawab melahirkan seorang anak merupakan tugas yang sangat penting. Eksistensi manusia tergantung pada hal tersebut. Tanggung jawab ini mensyaratkan sejumlah hal, seperti kekuatan fisik, stamina, kecerdasan, dan komitmen personal yang dalam. Sementara tanggung jawab ini begitu jelas dan penting, apa tanggung jawab seorang pria dalam keluarga itu dan masyarakat luas? Untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan, dan untuk menghindari penindasan, Al-Qur`an menyebut tanggung jawabnya sebagai qiwamah. Amina menambahkan bahwa wanita tidak perlu dibebani dengan tanggung jawab tambahan yang akan membahayakan tuntutan penting tanggung jawab yang hanya dia sendiri yang bisa mengembannya.

c. Nusyuz: Gangguan Keharmonisan Perkawinan
Kutipan Q.S. al-Nisa (4): 34 seringkali ditafsirkan dan dijadikan legitimasi/ pengakuan menurut hukum oleh kaum laki-laki untuk melakukan tindak kekerasan (violence) terhadap istri (perempuan) yang dianggap telah nusyuz. Di dalam kitab-kitab fiqh atau tafsir klasik, kata nusyuz sering dibawa pengertiannya pada istri yang tidak taat kepada suami.
Kata nusyuz dalam al-Qur’an dapat merujuk kepada kaum laki-laki pada (Q.S. al-Nisa’ [4]: 128) dan kaum perempuan pada (Q.S. al-Nisa’ [4]: 34), meskipun kedua kata ini sering diartikan berbeda. Ketika merujuk pada perempuan, kata nusyuz berarti ketidakpatuhan istri kepada suami ketika merujuk kepada suami berarti suami bersikap keras kepada istrinya, tidak mau memberikan haknya. Tetapi, menurut Amina Wadud, ketika kata nusyuz disandingkan dengan perempuan (istri), ia tidak dapat diartikan dengan ketidakpatuhan kepada suami (disobidience to the husband), melainkan lebih pada pengertian adanya ganguan keharmonisan dalam keluarga.
Al-Quran menawarkan berbagai solusi untuk persoalan nusyuz: Pertama, solusi verbal, (fa`idhuhunna) baik antara suami istri itu sendiri, seperti dalam Q.S. al- Nisa’ [4] : 34, atau melalui bantuan arbiters atau hakam (seorang penengah) seperti dalam Q.S. al-Nisa’ [4]: 128. Kedua, boleh dipisahkan (pisah ranjang). Langkah terakhir yakni memukul (fadribuhunna atau scourge).
Solusi pertama merupakan solusi yang terbaik yang ditawarkan dan disukai oleh al-Qur’an. Ini sejalan dengan salah satu prinsip dasar al-Qur’an yaitu musyawarah (syura). Dengan ungkapan lain, tidak perlu dilakukan tindakan kekerasan (violence) tertentu untuk menghadapi percekcokan antara suami-istri. Dalam pandangan penulis, kepatuhan yang tulus sesungguhnya tidak dapat dicapai dengan kekerasan, melainkan antara lain dengan sikap pengertian, mawaddah (kasih sayang) lutf (kelembutan).
Kedua: jika langkah-langkah kompromi mengikuti cara yang diajarkan al- Qur’an, belum dapat menyelesaikan masalah maka sangat mungkin harmonisasi itu akan dapat kembali, sebelum langkah terakhir dilakukan. Jika tahap ketiga terpaksa harus dilakukan, maka hakikat memukul istri tidak boleh menyebabkan terjadinya kekerasan, atau perkelahian antara keduanya, karena tindakan tersebut sama sekali tidak Islami.
Amina Wadud berpendapat mengenai penafsiran kata dharaba yaitu bahwa kata tersebut mempunyai banyak makna. Dharaba tidak harus berarti merujuk pada penggunaan paksaan atau kekerasan. Kata dharaba juga digunakan untuk pengertian meninggalkan atau menghentikan suatu perjalanan. Bahkan lebih dari itu, penulis sendiri mencatat kata dharaba ada yang bermakna berpalinglah dan pergi. Demikian pula, kata dharaba ada yang berarti at-Tasharruf bi malihi (mencegahnya untuk tidak memberikan hartanya kepadanya).
Jika demikian, masih ada banyak kemungkinan penafsiran kata fadhribuhunna dalam Q.S al-Nisa’ [4]: 34. Apakah tidak lebih baik, kata fadhribuhunna ditafsirkan dengan berpalinglah dan tinggalkanlah mereka atau kita tafsirkan janganlah mereka dikasih nafkah atau biaya hidup. Tafsir semacam ini nampaknya akan lebih dapat menghindarkan kekerasan dalam keluarga, ketika terjadi disharmoni atau percekcokan antar suami istri. Ketika sahabat mencoba mempraktikkan memukul istrinya yang nusyuz, lalu melapor kepada Nabi saw, beliau lalu bersabda “ pria teladan tidak akan pernah memukul istri-istri mereka”. Disamping itu juga ada hadis Nabi yang melarang memukul istri .

d. Perceraian
Perceraian merupakan pilihan hukum antara pasangan yang telah menikah, setelah mereka tidak bisa menyatukan perbedaan yang timbul antara keduanya. Tetapi keadaan yang telah dibahas tadi, yang mengizinkan pria memiliki darajah (kelebihan) atas wanita, telah dianggap sebagai indikasi adanya ketaksejajaran dalam al-Qur`an- yaitu pria memiliki hak talak. Tidak seperti wanita, kaum pria bisa saja berkata ‘saya ceraikan kamu ‘ untuk memulai tata cara perceraian.
Al-Qur`an memang tidak menyebutkan adanya wanita-wanita yang meminta talak dari suaminya, sehingga kenyataan ini digunakan untuk mengambil kesimpulan bahwa wanita tidak memiliki hak talak. Kesimpulan terakhir sangat bertolak belakang dengan adat istiadat zaman pra-Islam dimana wanita dapat dengan mudahnya memalingkan wajahnya untuk menunjukkan penolakannya atas hubungan perkawinan dengan seorang pria. Tidak ada satu petunjukpun dalam al-Qur`an yang mengisyaratkan bahwa seluruh kewenangan talak ini harus direnggut dari kaum wanita. Yang lebih penting lagi menurutnya, hendaknya persoalan rujuk atau cerai dilakukan dengan cara ma’ruf dan menguntungkan kedua belah pihak.

e. Poligami
Dalam hal ini Amina Wadud membahas QS 4:3 berikut:
                              
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Ayat ini tentang perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki yang bertanggung jawab, untuk mengelola kekayaan anak-anak yatim perempuan tidak bisa diharapkan untuk mengelola dengan adil harta tersebut. Solusinya adalah dengan menikahi anak yatim tersebut.
Menurut Amina Wadud ada 3 pembenaran umum terhadap poligami yang tidak ada persetujuan langsung dalam Al-Qur’an, yaitu:
1) Finansial. Dalam konteks masalah ekonomi seperti pengangguran, seorang laki-laki yang mampu secara finansial hendaknya mengurus lebih dari satu istri. Lagi-lagi, pola pikir ini mengasumsikan bahwa semua wanita adalah beban finansial, pelaku reproduksi, tapi bukan produsen.
2) Dasar pemikiran lain untuk berpoligami difokuskan pada wanita yang tidak dapat mempunyai anak.
3) Jika kebutuhan seksual seorang laki-laki tidak dapat terpuaskan oleh seorang istri, dia harus mempunyai dua. Alasan ini jelas tidak Qur’ani karena berusaha menyatujui nafsu laki-laki yang tidak terkendali.

f. Pembagian Warisan dan Persaksian bagi Perempuan
Teori kesetaraan laki-laki dan perempuan dilawan dengan pendapat, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan sesungguhnya memang tidak setara. Terbukti pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan tidak sama, bahkan 2:1. Ketentuan ini dianggap sebagai hal yang qothi, karena dhahir ayat memang menyatakan semacam ini, sebagaimana yang tertuang dalam Q.S.An-Nisa’:11-12.
Tentang pembagian harta warisan, Amina Wadud mengkritik penafsiran lama yang menganggap bahwa 2:1 (laki-laki dan perempuan) merupakan satu-satunya rumusan matematis. Menurutnya teori tersebut tidak benar, sebab ketika diteliti ayat-ayat tentang waris satu persatu, ternyata rumusan 2:1 hanya merupakan salah satu ragam dari model pembagian harta waris laki-laki dan perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka bagiannya separuh dari keseluruhan harta warisan.
Berbicara tentang persaksian dalam muamalah, al-Qur’an menyebutkan dalam (QS al-Baqarah [2]: 282.). Ayat tersebut mesti harus dipahami dalam konteks apa ia turun, bagaimana situasi sosio historis yang melingkupi ketika ayat itu turun. Para ulama klasik umumnya memang cenderung memahami secara tekstual, dan kurang berani melakukan terobosan baru untuk menafsirkan secara lebih kontekstual.
Dalam hal ini Fazlur Rahman, nampaknya salah seorang yang berani mengartikan berbeda dengan mengatakan bahwa:
Kesaksian perpemuan dianggap kurang bernilai dibanding laki-laki, tergantung dari daya ingat yang dimiliki perempuan tersebut. Jika perempuan tersebut memiliki pengetahuan tentang masalah transaksi keuangan, maka ia juga membuktikan kepada masyarakat, bahwa ia mampu sejajar dengan laki-laki.
Pemahaman ayat tersebut sesungguhnya sangat sosiologis, karena pada waktu itu, perempuan mudah dipaksa. Jika saksi yang dihadirkan hanya seorang perempuan, maka ia bisa dipaksa agar memberi kesaksian palsu. Berbeda jika ada dua perempuan, mereka bisa saling mendukung, saling mengingatkan satu sama lain tidak hanya menyebabkan si individu perempuan menjadi berharga, tetapi juga dapat membentuk benteng kesatuan guna mengadapi saksi yang lain.
Jadi, dengan kata lain adanya persaksian dua perempuan yang seakan disetarakan dengan satu laki-laki lebih disebabkan oleh adanya hambatan sosial pada waktu turunnya ayat, yaitu tidak adanya pengalaman bagi perempuan untuk masalah transaksi pada muamalah. Di samping itu, seringkali terjadi pemaksaan terhadap perempuan, dalam saat yang bersamaan sesungguhnya al-Quran tetap memandang perempuan sebagai saksi yang potensial.
Implikasi teoritis dari pemikiran tersebut adalah bahwa ketika kondisi zaman sudah berubah, di mana perempuan telah mendapatkan kesempatan pengalaman yang cukup dalam persoalan transaksi atau muamalah, apalagi hal itu memang sudah menjadi profesinya, maka perempuan dapat menjadi saksi secara sebanding dengan laki-laki. Jadi, persoalannya bukan pada jenis kelaminnya apakah laki-laki atau perempuan, melainkan pada kredibilitas dan kapabilitas ketika diserahi untuk menjadi saksi .

D. KESIMPULAN

Amina Wadud adalah seorang feminis Islam, imam dan seorang feminis dengan, fokus progresif pada Al-Qur'an tafsir. Riset Amina Wadud mengenai wanita dalam Al-Qur’an muncul dalam suatu konteks historis yang erat kaitannya dengan wanita Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. Tujuan riset Amina Wadud adalah menentukan kriteria yang pasti untuk mengevaluasi sejauh mana posisi wanita dalam kultur muslim telah betul-betul menggambarkan maksud Islam mengenai wanita dalam masyarakat. Selain itu, tujuan spesifiknya adalah menunjukkan kemampuan penyesuaian pandangan dunia Al-Qur’an terhadap persoalan dan dunia wanita menurut konteks modern.
Amina Wadud menggunakan metode tafsir tauhid. Metode tafsir tauhid sebagai hermeneutika yang dalam risetnya ini, setiap ayat dianalisis: 1) menurut konteksnya; 2) menurut konteks pembahasan tentang topik yang sama dalam Al-Qur’an; 3) dari sudut bahasa dan struktur sintaksis yang sama yang digunakan di tempat lain dalam Al-Qur’an; 4) dari sudut prinsip Al-Qur’an yang menolaknya; 5) menurut konteks Weltanschauuung Al-Qur’an, atau pandangan dunianya.
Pemikiran Amina Wadud mulai dari penciptaan manusia sampai persaksian perempuan adalah untuk menentang sebagian sikap dan hasil penafsiran tentang wanita dan Al-Qur’an. Penafsiran yang mengabaikan prinsip keadilan, persamaan dan kemanusiaan yang lazim. Amina Wadud menganggap kesetaraan laki-laki dan wanita bukan berarti sama. Ia mengakui adanya perbedaan penting antara laki-laki dan wanita. Maksud kesetaraan menurutnya adalah bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama pada tataran etika agama, dan mempunyai tanggung jawab yang sama-sama signifikan pada tataran fungsi sosial.



























DAFTAR RUJUKAN

Abu Zaid, Nasr Hamid. 2003. Dawa’ir al-Khawf: Qira’ah fi Khitab al- Mar’ah. Terjemahan, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: SAMHA.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Baidowi, Ahmad. 2005. Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufassir Kontemporer. Bandung: Nuansa.
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. Diponegoro.
Hasan, Ali. 1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Hanifah. 2005. Paradigma Tafsir Feminis (Studi Atas Pemikiran Amina Wadud, Asghar Ali Engineer dan Muhammad Syahrūr). http://tafsirhadis-uin-suka.blogspot.com/2009/02/paradigma-tafsir-feminis.html. Diakses 6 Mei 2011
Ika Khusnul Khotimah. 21-12-2010. Biografi Amina Wadud. http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/biografi-amina-wadud.html. Diakses 7 Mei 2011
Izutsu, Toshihiko. 1964. God and Man in the Koran: Semantics of Koranic Weltanschauuung. Tokyo: The Keio Institute of Culture and Linguistics Studies.
Junaidi, Abdul Basith. Et.al. 2009. Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khalaf Allah, Muhammad Ahmad. 1965. Al-Fann Al-Qassasi fi Al-Qur’an Al-Karim. Kairo: Maktab Al-Anjali Masriyyah.
Muhsin, Amina Wadud. 1999. Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text with a Woman Perspective. New York: Oxford University Press.
Wadud, Amina. 2001. Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah Ali. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
2006. Inside the Gender Jihad, Women’s Reform in Islam/. England: Oneworld Publications.
Kaidah-kaidah Tafsir Al-Qur’an. 2010. http://www.scribd.com/doc/29773129/Kaidah-kaidah-Tafsir-Al-Quran. Diakses 18 Oktober 2010
http://en.wikipedia.org/wiki/Amina_Wadud, diakses pada tanggal 30 Oktober 2010
www.musawah.org/docs/pubs/wanted/Wanted-A-W-EN.pdf Islam beyond Patriarchy through Gender Inclusive Qur’anic Analysis.

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. dalam mazhab amina wadud lelaki pula seolah olah tertindas dgn hukum agama...

    bila hukum agama ditujukan pada wanita maka mereka akan menbuat seribu satu alasan utk menafikan hukum islam ke atas mereka...

    sister in islam di m'sia adalah salah satu pertubuhan yg berkiblatkan amina wadud...
    kalau anda tidak percaya sila lihat dlm fb sister in islam...

    ternyata mereka ini sekular dan menentang hukum islam.
    bila ada yg menguntungkan mereka maka didlm al quran tadi diikuti
    bila tidak menguntung kan mereka maka mereka akan tentang habis habisan.
    melihat kan cara hidup mereka yg bebas disitu mengambar cara hidup mereka yg munafik

    BalasHapus